Tidak ada orangtua
yang tidak menyayangi, melindungi dan menyediakan yang terbaik untuk anaknya.
Selazimnya begitulah peranan orangtua terhadap anak-anaknya.
Namun, gambaran
tersebut gak selamanya ideal. Mungkin tak sekejam ibu dalam novel Dave Pelzer,
"A Child Called It," atau tak sampai melukai secara fisik. Tetapi
sebagian orangtua menerjemahkan makna "kasih" dan "sayang"
dengan cara yang berbeda, yang justru membuat anak-anaknya terluka secara emosi
dan mental.
Orangtua seperti ini
dikenal dengan sebutan "toxic parents" atau orangtua yang beracun.
Seperti apa ciri-cirinya?
1. Mereka gagal memberikan rasa aman dan afirmasi positif.
Sebagian orangtua
percaya, anak-anak harus mandiri dan tidak manja supaya bisa menjaga dirinya
sendiri di masa depan. Jika kamu adalah salah satu anak yang dibesarkan dengan
cara-cara yang keras dan tegas, tentunya kamu merasakan manfaatnya saat dewasa.
Namun, tegas bukan
berarti melepaskan tanggung jawab dalam hal memberikan rasa aman terhadap anak.
Ketegasan memang diperlukan, tetapi anak-anak tetap perlu dipeluk saat sedih
dan didukung saat mereka merasa terpuruk.
2. Mereka selalu mengkritisi apapun yang dilakukan anaknya.
Setiap orangtua tentu
akan mengkritisi dan memberitahu. Tanpa hal ini, kita gak akan tahu apa yang
salah dan apa yang benar.
Tetapi toxic
parents terlampau sering mengkritisi apapun yang dilakukan anak-anaknya
dan tidak percaya sang anak bisa melakukan dengan benar. Terkadang untuk
mengkoreksi tindakan yang salah, toxic parents ini gak segan untuk
melakukan kekerasan dan melontarkan kata-kaya kasar.
3. Mereka melontarkan candaan yang tak pantas tentang anaknya.
Punya orangtua yang
humoris memang menyenangkan. Tetapi, jika anaknya sendiri yang dijadikan bahan
olok-olokan apalagi di depan banyak orang, tentunya hal ini gak lagi jadi hal
yang lucu. Apalagi sampai tidak menghiraukan hal-hal yang menjadi kekhawatiran dan
ketakutan, atau mengejek mimpi-mimpi sang anak .
Jika orangtuamu suka
mengolok-olokmu, dari sisi fisik, hobi, karya atau apapun itu, yang membuatmu
merasa buruk, kamu harus berani mengatakan pada mereka bahwa kamu tak nyaman.
4. Mereka selalu menyalahkan anak-anaknya untuk hal-hal buruk.
Naik-turunnya
keluarga adalah hal yang wajar. Kita gak bisa selalu mengharapkan kehidupan
yang baik setiap waktu. Tetapi jika nasib buruk sedang menimpa keluarga, dan
orangtua menuding penyebabnya adalah sang anak walaupun bukan itu penyebabnya,
bisa dipastikan mereka adalah tipe toxic parents.
5. Mereka tidak memperbolehkan anaknya menunjukkan emosi
negatif.
Mereka melarang
anak-anaknya untuk marah. Satu-satunya yang boleh marah dan menangis adalah
orangtua. Sementara mereka sendiri tak berusaha menunjukkan sisi emosi yang
positif.
Padahal, menyalurkan
emosi negatif itu diperlukan semua manusia untuk meringankan depresi. Jika hal
ini terjadi di masa kecil, tak menutup kemungkinan di saat dewasa sang anak
menjadi sulit mengontrol emosi negatifnya dan malah justru berbahaya.
6. Untuk dihormati, mereka ditakuti.
Semestinya, wibawa
lah yang membuat seseorang dihormati dengan sendirinya. Bukannya menciptakan
rasa takut agar dihormati. Banyak orangtua yang berlindung di balik kata
'disiplin'. Nyatanya justru anak-anak menjadi takut dan ketakutan itu yang
menjauhkan hubungan orangtua-anak.
Jika ini terus
berlanjut, komunikasi yang buruk akan terjadi dan anak-anak tak akan berani
menceritakan masalah-masalah mereka kepada orangtua. Hubungan semakin menjauh.
7. Mereka mengungkit-ungkit pembalasan budi.
Pada anak-anak yang
sudah dewasa, toxic parents seringkali mengungkit-ungkit soal balas
budi. "Papa sudah susah-susah sekolahin kamu, sekarang kamu harus nurut
sama Papa," atau "Mama melahirkan kamu bertaruh nyawa, sekarang kamu
tega-teganya meninggalkan Mama kerja di luar kota."
Tidak ada satu pun
anak yang berharap dilahirkan dengan menanggung balas budi terhadap apa yang
sudah dilakukan orangtuanya. Pembalasan budi yang selalu diungkit-ungkit akan
menimbulkan rasa bersalah pada sang anak, walau sang anak sendiri tak pernah
memintanya. Situasi ini membuat anak-anak merasa bahwa kebahagiaan orangtua
sepenuhnya berada di pundaknya dan akan menghambat langkahnya ke depan.
Menghindari orang
yang beracun dalam hidup kita memang tak mudah, terlebih orang itu adalah
orangtua kita. Apalagi jika masalah emosi dan psikis ini terpupuk sejak dini.
Jika kamu merasa tidak nyaman, ajaklah bicara orangtuamu sebagai sesama orang
dewasa. Jika tak berhasil, mintalah bantuan anggota keluarga yang lain atau
psikolog untuk menjadi perantara.